Senin, 30 Januari 2017

Banyak Pengungsi Muslim Putuskan Pindah Agama

REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT — Banyak pengungsi muslim yang memutuskan untuk berpindah agama demi memperoleh keselamatan di negara yang mereka datangi. Salah satunya pengungsi muslim asal Suriah, Ibrahim Ali (57).
Ali tidak pernah membayangkan bahwa ketika ia melarikan diri ke Libanon untuk mencari perlindungan dari perang ia akan berakhir dengan meninggalkan keyakinannya dahulu dan menjadi pemeluk Kristen. Ali tidak sendirian.
Ratusan pengungsi Muslim yang tinggal di Lebanon juga telah memutuskan menjadi pemeluk Kristen pada tahun lalu. Jumlah pengungsi Suriah yang berada di Libanon terus bertambah. Alasan pengungsi muslim ini pindah agama untuk mendapatkan keuntungan dari bantuan dermawan yang didistribusikan oleh badan amal Kristen.
Nantinya badan amal ini akan membantu aplikasi suaka mereka ke Eropa, Amerika Serikat, Kanada dan negara lain. Ali melarikan diri rumahnya di pedesaan Aleppo ke Lebanon tak lama setelah perang dimulai pada tahun 2011.
Dia meninggalkan istri dan tujuh anaknya dengan harapan dapat membawa mereka pergi setelah ia memperoleh uang. Setelah tiga tahun bekerja sebagai pembersih jalanan di Libanon ia memutuskan untuk keluar.
Namun perusahaan menolak membayar upah Ali sebesar 10 ribu USD. Sebagai pengungsi ia tidak punya pilihan. Ali tidak bisa kembali ke Aleppo karena adanya konflik. Akibatnya ia terpaksa menjadi pegemis di jalanan.
Pada saat inilah Ali mendatangi gereja yang membagikan paket makanan untuk pengungsi. Pihak gereja menawarkan tempat tidur, makanan dan uang saku bulanan. Tetapi dengan syarat Ali harus menghadiri kelas Alkitab mingguan.
"Hampir semua orang yang menghadiri kelas adalah Muslim. Sebagian besar pengungsi Suriah dan Irak ,” ujar Ali seperti dilansir telegraph.co.uk , Senin (30/1).
Akhirnya Ali dan rekan-rekanya di Baptis dan diberi nama baru. Menurut Ali, banyak orang yang melakukannya untuk sampai ke Eropa, Amerika Serikat dan Kanada. Sementara ia berencana untuk tinggal di Lebanon. Pengungsi akan melakukan apa saja demi keamanan mereka dan keluarga.
Pengungsi lainnya, Alia al-Haji (29) juga memutuskan untuk menghadiri kelas alkitab mingguan bersama suami dan tiga anaknya. Ia mengaku mengalami kesulitan hidup di Libanon sebegai pengungsi. Saat anaknya sakit ia tidak mampu berobat dan suaminya tidak diizinkan untuk bekerja. Setelah dibaptis, ia berencana untuk mengajukan permohonan suaka ke Kanada.

Rep: Marniati / Red: Bilal Ramadhan

Minggu, 29 Januari 2017

Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta Tolak Sosialiasi Amdal Reklamasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menolak sosialisasi analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) reklamasi Pulau G yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta dan PT Muara Wisesa. Rencananya sosialisasi tersebut akan dilakukan pada Selasa (31/1) besok di Kelurahan Pluit, Jakarta Utara.
"Kami berpendapat sosialisasi yang akan dilakukan adalah bentuk upaya untuk memaksakan kehendak pengembang agar pembangunan reklamasi Pulau G dapat dilanjutkan. Kami juga memprotes tindakan Pemda DKI Jakarta melalui Kelurahan pluit yang justru memfasilitasi kegiatan tersebut," kata Tigor Hutapea perwakilan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta, Ahad (29/1).
Tigor mengatakan, pihaknya mempertanyakan mengapa hasil pengawasan dan perkembangan sanksi administratif yang dijatuhkan kepada PT Muara Wisesa tidak pernah dipublikasiukan.
Ia menegaskan pembangunan Pulau G yang telah dihentikan melalui sanksi administratif Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan moratorium dari pemerintah jelas nyata telah merugikan kehidupan nelayan, merusak lingkungan hidup teluk Jakarta, memperparah rob, mengganggu operasional PLTU Muara Karang, menyebabkan konflik di wilayah pengambilan material pasir dan dilakukan dengan cara tindakan korupsi.
Sehingga, kata Tigor, sudah seharusnya pembangunan Pulau G dan pulau-pulau lainnya dihentikan. Ia melanjutkan, tindakan yang dilakukan PT Muara Wisesa dan Pemda DKI dinilai bertentangan dengan pesan Presiden Joko Widodo agar reklamasi tidak diatur oleh pengembang, memerhatikan kehidupan nelayan, dan tidak merusak lingkungan. Apabila sosialisasi ini tetap dilanjutkan, kata Tigor, maka PT Muara Wisesa merupakan pengembang tidak patuh pemerintah.
"Tindakan Pemda DKI yang memfasilitasi sosialisasi kami nilai sebagai tindakan melawan pemerintah pusat yang telah memutus melakukan moratorium terhadap pembangunan reklamasi di Teluk Jakarta. Sikap diam dan tidak terbuka KLHK pun kami anggap sebagai sikap yang bersebrangan dengan fungsi KLHK sebagai garda terdepan dalam perlindungan lingkungan hidup," ujarnya.
Tigor mengatakan, Koalisi menilai ini merupakan persengkongkolan pemerintah DKI dan pengembang melanjutkan kegiatan yang jelas merugikan masyarakat dan lingkungan hidup serta hanya demi keuntungan segelintir orang.
Selain itu, Tigor menambahkan, rencana sosialisasi ini bermasalahan, sebab hingga saat ini belum ada Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Teluk Jakarta yang komprehensif dan Peraturan Daerah tentang Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menjadi syarat untuk menentukan pembangunan di Teluk Jakarta. Proses moratorium berupa pembahasan perencanaan ruang dan lingkungan hidup juga masih di bahas di Bappenas.
Tigor mengatakan, kepentingan reklamasi bukan untuk kepentingan publik karena hanya menguntungkan pengusaha. Rencana sosialisasi pun, kata dia, tanpa melibatkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang memiliki wewenang terhadap pesisir dan nelayan.
Selain itu, juga tidak adanya keterlibatan perempuan dalam rencana sosialisasi yang menjadi salah satu korban paling rentan dari pembangunan reklamasi. Tigor mengatakan, sosialisasi juga tidak melibatkan lembaga pemerhati lingkungan dan lembaga lain yang menolak reklamasi.
"Atas dasar itu maka kami koalisi selamatkan teluk Jakarta menolak rencana sosialisasi amdal pembangunan Pulau G dan menuntut agar KLHK dan KKP mengeluarkan putusan untuk menghentikan pembangunan reklamasi Pulau G dan pulau-pulau lainnya," katanya.