Rabu, 20 April 2016

Terbitlah Cahaya

Misteri "HABIS GELAP TERBITLAH TERANG H"
RA Kartini

Selama ini kita mengenal buku " Habis Gelap Terbitlah Terang" ("Door
Duisternis Toot Licht.") yang diterjemahkan oleh Armyn Pane dari
kumpulan surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon di negeri Belanda.
Banyak yang memaknai bahwa judul ini mewakili curhat Kartini yang
menyemangati kaum perempuan di Indonesia untuk meraih kebebasan.

Sesungguhnya judul buku tersebut tidak hanya dalam konteks emansipasi
perempuan tetapi, memperjuangkan hak bangsa Indonesia untuk memperoleh
kemandirian. Untuk lebih memahaminya, marilah kita ikuti kronologi
sejarah yg sesungguhnya didukung oleh dialog dalam surat menyurat
Kartini berikut ini



Dalam suratnya kepada Stella Zihandelaar bertanggal 6 November 1899,
RA Kartini menulis:

"Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang
umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku
beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat
mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh
memahaminya? AlQur'an terlalu suci; tidak boleh diterjemahkan ke dalam
bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada
orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi
tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar
membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau
menyuruh aku menghafal Bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku
pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang
baik hati. Bukankah begitu Stella? "

RA Kartini melanjutkan curhat-nya, tapi kali ini dalam surat
bertanggal 15 Agustus 1902 yang dikirim ke Ny Abendanon.
"Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu
apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar
menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku
mengerti artinya. Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya.
Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa
saja. Aku berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh
mengerti apa artinya."

Hingga kartini bertemu dengan Kyai Sholeh Darat saat mengikuti
pengajian di rumah pamannya yang menjadi Bupati Di Demak. Saat itu
Kyai Sholeh Darat mengajarkan tafsir surat Al Fatihah. Rupanya Kartini
sangat terpesona dengan uraian Kyai Sholeh Darat (Mbah Sholeh), karena
selama ini gelap baginya makna dari ayat-ayat suci Al Quran.

Padahal kalu kita simak surat-surat Kartini mengggambarkan bahwa ia
adalah seorang yang intelek, kritis, dan rasional. Berikut dialog
dengan Kyai Soleh Darat:

"Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang
berilmu menyembunyikan ilmunya?" Kartini membuka dialog.

Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. "Mengapa Raden Ajeng bertanya
demikian?" Kyai Sholeh balik bertanya.

"Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna
surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Al Quran. Isinya begitu
indah, menggetarkan sanubariku," ujar Kartini.

Kyai Sholeh tertegun. Sang guru seolah tak punya kata untuk menyela.
Kartini melanjutkan; "Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah.
Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah Al
Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?"

Perlu difahami pada saat itu pemerintah Belanda memang melarang keras
para Kyai menerjemahkan Al Quran dalam bahasa jawa karena akan
membangkitkan jiwa perlawanan mereka terhadap penjajah. Bahkan dalam
bahasa dan Aksara Jawapun Belanda akan medeteksi karena Belanda
menguasai kebudayaan Jawa.

Akhirnya Mbah Sholeh berkeputusan untuk menerjemahkan Al Quran dengan
trick menggunakan bahasa Jawa dan huruf arab pegon (gundul) yg tidak
dikuasai Belanda. Terjemahan ini baru sampai Surat Ibrahim karena Mbah
Sholeh keburu wafat. Kitab tafsir dan terjemahan Quran ini diberi nama
Kitab Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa
dengan aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada R.A.
Kartini pada saat dia menikah  dengan R.M. Joyodiningrat, seorang
Bupati Rembang.

Kartini amat menyukai hadiah itu dan mengatakan: "Selama ini
Al-Fatihah gelap bagi saya.  Saya tak mengerti sedikitpun maknanya.
Tetapi sejak hari  ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna
tersiratnya,  sebab Romo Kyai telah menerangkannya dalam bahasa Jawa
yang saya pahami."

Kemudian dalam surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon.
"Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu
benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu
menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal
bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal
yang sama sekali tidak patut disebut peradaban. Tidak sekali-kali kami
hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau
orang Jawa kebarat-baratan. "

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis;
"Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini
kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat
bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai."

Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis :
"Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah."
Melalui Mbah Sholeh itulah RA Kartini menemukan ayat yang amat
berkesan dinuraninya yaitu: Orang-orang beriman dibimbing Allah dari
gelap menuju cahaya (Q.S. al-Baqarah: 257).

Sumber :"Habis Gelap Terbitlah Terang" oleh R.A Kartini, dan sumber lainnya.
Selamat Hari Kartini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar